>
PENGERTIAN ISLAM, IMAN DAN IHSAN & KONSEP iSLAM SEBAGAI CARA HIDUP
Sebagai agama yang sempurna dan diterima disisi Allah, maka setiap umat Islam wajib memahami dan meningkatkan ‘kualitas’ ke-Islam-annya dari waktu ke waktu.
Islam, ialah berserah diri kepada Allah dengan tauhid (hanya pada Allah, tidak bergantung pada makhluk dan benda lain) dan tunduk kepada-Nya dengan penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menjauhkan diri dari perbuatan (dan orang-orang yang melakukan) syirik.
Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.
1.A. IMAN KEPADA ALLAH
Aqidah keimanan kepada Allah tidak hanya terbatas pada keimanan bahwa Allah itu ada, tetapi juga mencakup ilmu yang benar, lengkap dan sempurna, tentang sifat-sifat Allah. Dan pada kenyataannya konsepsi aqidah yang dikemukakan semua agama – kecuali Islam – ternyata keliru mengenai hal-hal tersebut diatas.
Beberapa rincian keimanan kepada Allah yang harus kita yakini :
1.a.i. La Nafi’a Wa La Dzhar Ilallah
(Tiada yang memberi manfaat atau mudharat selain Allah)
“… sesungguhnya kekuatan itu milik Allah semua …” (QS. Al-Baqarah, 2:165)
“… dan selain Allah, tiada bagimu seorang pun pelindung dan penolong.” (QS. Al-Baqarah 2:107)
“… kemenangan itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali ‘Imran, 3:126)
“Sesungguhnya Allah itu Dia yang Maha Pemberi rezki, yang Maha Mempunyai Kekuatan lagi Maha Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat, 51:58)
“Kalau Allah menimpakan suatu kemadharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia…” (QS. Yunus, 10:107)
Sebelum mengenal Tuhannya, seakan-akan manusia selalu meletakkan dahinya ke tanah begitu melihat adanya kekuatan dan keperkasaan benda-benda di alam semesta yang dianggapnya bisa memberi manfaat atau mudharat – yang mengakibatkannya selalu menengadahkan tangan, menggantungkan harapan dan memintakan pertolongan kepada benda-benda itu – maka begitu ia mengenal Allah, Tuhannya, serta merta mengertilah ia secara ‘ilmul-yakin bahwa benda-benda itu pun sama sekali tidak bisa memberikan apa-apa.
Tatkala manusia telah berhasil memperoleh keyakinan ilmu ini, ia tidaklah bergantung lagi pada kekuatan alam dan tidak pula takut padanya; dan setelah itu ia tidak mau lagi meletakkan dahinya dihadapan siapa pun selain Allah, bahkan tidak pula mau menengadahkan tangan untuk meminta tolong ataupun takut selain kepada-Nya. Dan pada akhirnya keimanan ini akan melahirkan rasa keyakinan dan percaya diri.
1.a.ii. La Mu’dhirra Illallah
(Tiada daya dan kekuatan selain Allah)
“Dan Dia-lah yang berkuasa atas semua hamba-Nya. Dan Dia pulalah yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.” (QS. Al-An’am, 6:18)
“… Allah itulah yang Maha Kaya, sementara kamu orang-orang yang membutuhkan-Nya…” (QS. Muhammad, 47:38)
Seorang muslim harus memahami kebesaran Allah Azza wa Jalla dan menyadari kelemahan dirinya. Jika kedua hal ini telah hadir maka akan menumbuhkan sifat tawadhu’(Rendah hati).
Walaupun seorang muslim memiliki rasa kepercayaan diri, tetapi kepercayaan diri yang tumbuh akibat keimanan kepada Allah bukanlah kebanggaan keliru, tetapi harga diri itu merupakan hasil dari pemahaman yang mendalam atas hubungan dirinya dengan Allah yang Maha Agung. Karena itu tidak ada suatu kepercayaan diri apa pun, yang dimilikinya, yang tidak disertai dengan sikap tawadhu”.
“Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati, dan apabila mereka dicela oleh orang-orang jahil, mereka mengucapkan kata-kata salam (keselamatan).” (QS. Al-Furqan, 25:63)
Secara lebih sempurna, penggabungan antara keyakinan dan percaya diri disatu sisi dengan sikap tawadhu digambarkan secara tepat dalam firman-Nya :
“… suatu kaum yang Allah Mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang Mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, …” (QS. Al-Maidah, 5:54)
1.a.iii. La Musta’ani Bihi Illallah
(Tiada yang dimohonkan pertolongannya selain Allah)
Seorang muslim wajib meyakini penuh terhadap Allah akan ampunan, bantuan dan pertolongannya sehingga membuahkan rasa optimis tanpa bisa dipengaruhi dan dikalahkan oleh rasa pesimis ataupun putus asa. Manusia dituntut untuk selalu berlindung dengan keyakinan penuh terhadap ampunan Allah seraya mengharap pertolongan ataupun bantuan-Nya, sebab Allah itulah yang menjamin keamanan dirinya.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa kepada-Ku. Karena itu hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka senantiasa dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah, 2:186)
Jangan pernah pesimis untuk memperoleh rahmat
“… dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” (QS. Al-A’raf, 7:156)
“… sesungguhnya tidaklah putus asa dari rahmat Allah, melainkan orang-orang yang kafir.” (QS. Yusuf, 12:87)
Orang beriman bukanlah wataknya untuk putus harapan dalam meminta ampunan, bantuan dan pertolongan-Nya.
“Dan barangsiapa melakukan kejahatan ataupun menzhalimi dirinya sendiri, kemudian ia meminta ampunan kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’, 4:110)
Rasa optimis kepada Allah SWT ini melahirkan watak bahwa jika suatu sarana-sarana duniawi tidak sesuai dengan dirinya, maka hendaklah ia melepaskan ketergantungan-nya pada sarana tersebut, lalu pasrahkan seluruhnya kepada Allah, sehingga ia tidak merasa khawatir dan berkecil hati.
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: Tuhan kami adalah Allah! Lalu mereka meneguhkan pendiriannya (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (seraya mengatakan): Janganlah kalian merasa takut dan jangan pula bersedih…” (QS. Fushshilat, 41:30)
1.a.iv. La Wakila Illallah
(Tiada tempat tawakal selain Allah)
Secara lebih rinci keimanan ini menuntut adanya kesabaran, tawakal dan istiqamah pada diri seorang muslim.
Didasari keimanan akan Ke-Maha Bijaksanaan-Nya terhadap apa yang menimpa diri maka tidak ada satu musibah, penderitaan, ancaman dan kesengsaraan duniawi yang mampu menggeser kedua kakinya, sehingga ia bersedia mengendorkan tali keimanan ini.
Ia yakin bahwa tidak ada suatu musibah pun yang akan menimpanya kecuali dengan pengetahuan dan izin Allah.
“Katakanlah: Sekali-kali tidaklah menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dia-lah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At-Taubah, 9:51)
Kekuatan sabar, tawakkal dan istiqamah seperti ini merupakan kekuatan yang jauh berada di atas kekuatan manusia dan mustahil diperoleh manusia tanpa keimanan terhadap Allah.
Sifat-sifat ketuhanan ini tidak bisa dipisah-pisah, sehingga bisa muncul banyak Tuhan yang masing-masing memiliki sifat-sifat ketuhanan tersebut.
Sifat ketuhanan juga tidak berupa sesuatu yang dangkal, yang terbatas oleh waktu dan terkurung masa, sehingga mengakibatkan Tuhan itu sesekali berkuasa dan lain kali tidak.
Sifat ketuhanan juga tidak bisa dipindah-pindah, sehingga mengakibatkan Tuhan berkuasa disuatu tempat tetapi tidak berkuasa di tempat lainnya.
“Subhaanallahi amma yuskrikuun” (Maha Sucilah Allah dari apa pun yang mereka persekutukan) (Q.S. Al-Hasyr 59:23)
1.B. IMAN KEPADA MALAIKAT
Iman kepada malaikat tidak terbatas hanya pada pengakuan tentang eksistensi malaikat semata, tetapi juga dimaksudkan untuk memberi pemahaman kepada manusia tentang kedudukan mereka yang hakiki dalam sistem perwujudan alam semesta ini, sehingga keimanan kepada Allah SWT dibangun atas asas tauhid yang murni dan bersih dari noda syirik.
Para malaikat, oleh sementara agama, disembah dan dianggap sebagai dewa-dewa yang masing-masing memimpin sejumlah komponen alam semesta semisal udara, petir, guntur, hujan, cahaya, kegelapan dan panas. Sementara itu oleh agama yang lain lagi, para malaikat dipandang sebagai “tuhan-tuhan kecil” yang mewakili dan membantu Tuhan dalam mengatur sistem alam semesta. Untuk agama lainnya menganggap para malaikat sebagai “gambaran” Tuhan. Singkat kata, mereka ini mengatakan bahwa malaikat itu adalah sekutu-sekutu Allah yang sama-sama memiliki sifat Uluhiyah dan Rububiyah. Karena itu pulalah maka mereka mematungkan malaikat dalam bentuk beraneka ragam yang kemudian mereka sembah, mereka jadikan tempat memohon doa dan meminta pertolongan. Dengan demikian berkembanglah berbagai macam syirik di dunia ini dan tersebarluaslah akibat-akibatnya.
Posisi malaikat dalam sistim alam semesta :
1.b.i. Malaikat adalah hamba Allah yang dimuliakan dan taat
“Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pemurah telah Mengambil (Mempunyai) anak”, Maha Suci Allah. Sebenarnya (Malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan Perintah-perintah-Nya.” (QS. Al Anbiya’ 21:26-27)
Kendatipun para malaikat bertugas mengatur alam semesta ini, namun mereka hanya menjalankan batas-batas yang telah dilimpahkan oleh Allah kepada mereka dan mereka sama sekali tidak memiliki daya untuk melanggar batas-batas yang telah ditentukan-Nya barang satu rambut pun dalam melaksanakan ketaatan mereka. Mereka selamanya taat dan tidak pernah membangkang
1.b.ii. Kedudukan Malaikat dinisbatkan kepada Manusia
Dan (ingatlah) ketika Kami Berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Baqarah 2:34)
Manakala iman kepada Allah ditegakkan atas ilmu yang benar tentang eksistensi malaikat dan kedudukan mereka dalam sistem alam semesta, niscaya ia bisa mengikis habis semua bentuk noda kemusyrikan.
1.b.iii. Keimanan kepada Malaikat dan Kemurnian Wahyu Ilahi
Malaikat merupakan hamba-hamba Allah yang bertugas menurunkan wahyu ilahi kepada para rasul dan nabi, serta menyampaikan risalah dan hukum-hukum Allah kepada mereka.
Malaikay dijadikan sebagai hamba Allah yang memiliki kekuatan, daya tahan, kehormatan dan keperkasaan, di mana mereka tak mungkin ditembus oleh kekuatan-kekuatan setan yang mencoba masuk dalam diri mereka menyelewengkan tugas mereka menyampaikan wahyu Ilahi.
“Sesungguhnya al-Qur’an itu adalah benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia, yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah yang memiliki ‘Arasy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya” (QS. At-Takwir 81:19-21)
Yang ditarik dari kesimpulan tersebut adalah dalam kaitan dengan keimanan kepada para rasul dan kitab-kitab-Nya. Kita mesti meyakini bahwa perantara yang menyampaikan wahyu Ilahi kepada para rasul itu adalah perantara yang benar dan mesti diyakini bahwa mereka itu terbebas dari khianat dan campur tangan kekuatan luar.
Rasul adalah orang yang dianugerahi “ilmu” yang tidak dimiliki oleh orang lain, serta dianugerahi Allah nur, hikmah dan ketajaman berpikir yang tidak diberikan-Nya kepada orang lain, maka tidak ada akidah lain tentang Allah SWT yang bisa dibenarkan kecuali yang telah dijelaskan dan disampaikan oleh para rasul itu kepada ummat manusia.
Apabila seseorang di antara orang-orang awam ini membangun suatu akidah tentang Dzat dan sifat-sifat Allah semata-mata di atas renungan dan pemikirannya sendiri, atau melalui ajaran dan doktrin para filosof, maka akidah semacam itu tidak mungkin dianggap benar buat selamanya.
Konsekuensi keimanan kepada Rasul adalah :
1.c.i. Patuh dan Taat kepada Rasul
Ummat manusia mesti mengikuti jalan yang telah ditempuh para nabi dan rasul Allah tiu, tidak saja dalam masalah akidah dan peribadatan, tetapi sekaligus dalam seluruh aspek kehidupan.
“Barangsiapa yang mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.” (QS. An-Nisa’, 4:80)
1.c.ii. Mengimani dakwah universal Nabi Muhammad SAW
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Furqan kepada hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al-Furqan 25:1)
Misi Nabi Muhammad saw. tidak terbatas untuk satu masa tertentu atau hanya untuk satu bangsa tertentu. Akan tetapi beliau adalah pemimpin terbesar ummat manusia sepanjang zaman.
Maka seluruh umat manusia diwajibkan beriman kepada kerasulan beliau, meyakini dan mengikutinya.
1.c.iii. Mengimani telah sempurnanya agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam ini menjadi agama bagimu.” (QS. Al-Ma’idah 5:3)
Ayat tersebut adalah petunjuk nyata bahwa tidak ada lagi hidayah dan petunjuk kebenaran yang tidak termuat dalam risalah Muhammad saw, dan semua ajaran agama yang sejenis dengan Islam seluruhnya telah tercakup dalam risalahnya.
Dengan demikian tidak ada lagi kebutuhan yang bisa dijadikan alasan bahwa manusia sekarang ini membutuhkan petunjuk, agama, ilmu atau rasul yang baru.
1.c.iv. Mengimani bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. telah menghapus agama-agama terdahulu
Al-Qur’an memerintahkan seluruh ummat manusia, termasuk orang-orang yang menjadi pengikut ajaran para nabi sebelumnya, untuk beriman kepada Nabi Muhammad, mengikuti syari-atnya dan mentaati perintahnya.
“Wahai ahli kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak isi al-Kitab yang kamu sembunyikan, dan (banyak pula) yang dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menjelaskan. Dengan kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita menuju cahaya yang terang-benderang dengan seizin-Nya. Juga memberi petunjuk kepada mereka menuju jalan yang lurus.” (QS. Al-Ma’idah, 5:15-16)
1.c.v. Mengimani bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah penutup para nabi
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzab, 33:40)
Al-Kitab, menurut istilah Islam, adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk menjadi hidayah dan petunjuk bagi hamba-hambanya.
Lafadz dan makna al-Kitab bukanlah berasal dari Rasulullah. Juga tidak muncul atas pemikiran dan kehendak beliau.
Fungsi Rasulullah dalam hal ini adalah merupakan penyampai kalam Ilahi itu dengan kebenaran dan amanah yang sempurna. Kemudian beliau ditugasi untuk memberikan penjelasan tentang isinya yang masih global dan menafsirkan firman-firman yang perlu diberi penafsiran melalui ilmu yang dianugerahkan oleh Allah SWT.
Ummat manusia tidak mungkin mampu mengambil manfaat dalam bentuknya yang sempurna dari isi al-Kitab itu dan karena itu pulalah mereka membutuhkan seorang “maha guru” yang bisa menanamkan ilmu yang terdapat dalam al-Kitab itu dalam jiwa mereka.
1.d.i. Mengimani semua kitab samawi
“Dan mereka yang beriman kepada kitab yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu.” (QS. Al-Baqarah 2:4)
Yaitu beriman kepada kitab-kitab yang secara jelas disebutkan namanya dalam al-Qur’an dan secara mujmal (global) kepada kitab-kitab yang tidak secara jelas disebutkan di dalamnya. Sejalan dengan akidah Islam, maka tidak ada satu ummat pun di dunia ini yang tidak mempunyai seorang rasul tanpa membawa kitab suci.
1.d.ii. Hanya tunduk pada al-Qur’an
Seorang Muslim harus memutuskan kaitan dirinya dengan semua kitab itu dan hanya menyambungkan tali ketaatannya semata-mata kepada al-Qur’an. Karena :
1. Sebagian besar dari kitab suci itu sudah tidak lagi kita dapati di dunia ini, sedangkan yang masih bisa ditemukan kondisinya sudah tidak terpelihara lagi seperti aslinya
2. Kitab-kita yang ada di dunia sekarang ini – kecuali al-Qur’an – ajaran-ajarannya secara jelas memperlihatkan bahwa kitab-kitab itu berlaku untuk masa-masa tertentu dan pada bagian dunia tertentu pula
3. Tidak ada satu pun di antara kitab-kitab itu – selain al-Qur’an – yang mengandung kebenaran dalam semua aspek ajarannya atau memuat penjelasan yang gamblang yang seluruhnya mampu mengemukakan petunjuk bagi semua aspek kehidupan.
Beriman kepada al-Qur’an secara rinci :
1.d.ii.1. Meyakini bahwa Al-Qur’an tetap terpelihara huruf dan kalimatnya seperti yang ada pada masa Rasulullah saw dulu.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr 15:9)
“Dan al-Qur’an itu bukanlah dibawa turun oleh setan-setan. Dan tidaklah patut mereka membawanya turun, dan mereka pun tidak akan mampu (melakukannya). Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan dari mendengar al-Qur’an itu.” (QS. Asy-Syu’ara 26:210-212)
1.d.ii.3. Al-Qur’an tidak dimasuki oleh hawa nafsu Nabi saw.
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm 53:3-5)
1.d.ii.4. Al-Qur’an tidak mengandung kebatilan sedikitpun
“Dan sesungguhnya al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia, yang tiada datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.” (QS. Fushilat, 41:41-42)
1.d.ii.5. Kandungan al-Qur’an seluruhnya benar
Ia diturunkan bukan attas dasar dugaan dan keraguan, melainkan atas ilmu dan keyakinan.
“Dan sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar kebenaran yang diyakini.” (QS. Al-Haqqah 69:51)
1.d.ii.6. Tidak ada hak bagi seorang pun, termasuk Nabi saw sendiri untuk merubah hukum-hukum dan ajaran-ajaran yang ada dalam al-Qur’an.
“Katakanlah: Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku pada siksa hari yang besar (kiamat)” (QS. Yunus, 10:15)
1.d.ii.7. Segala sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an adalah batil dan tidak perlu diindahkan
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia.” (QS. Al-A’raf 7:3)
Itulah akidah Islam yang berkenaan dengan al-Qur’an. Siapa pun yang memiliki salah satu kekurangan dari bagian-bagian tersebut di atas, niscaya ia tidak mungkin mentaati al-Qur’an dengan ketaatan yang sebenar-benarnya, dan kalau sudah demikian, ia akan menyimpang dari predikat “Islam”.
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan pertemuan dengan akhirat, sia-sialah amal perbuatannya.” (QS. Al-A’raf 7:147)
1.e.i. Lebih Menekankan kehidupan akhirat atas kehidupan dunia
Dunia merupakan tempat tinggal sementara. Dengan demikian hidup yang sejati bukanlah hidup di dunia ini, melainkan kehidupan lain yang bakal datang, yang jauh lebih baik, lebih abadi dan lebih besar manfaatnya disbanding kehidupan duniawi ini.
Barangsiapa yang silau oleh tujuan lahiriah kehidupan duniawi ini dan tertipu oleh kenikmatan, kekayaan dan kelezatannya, lantas mati-matian berusaha memperoleh semuanya itu dengan mengorbankan kenikmatan dan kenyamanan kehidupan akhirat yang abadi, maka merugilah ia.
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Ankabut 29:64)
“Katakanlah : Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. An-Nisa’ 4:77)
“Apakah kamu puas dengan kehidupan dunia sebagai ganti kehidupan akhirat? Padahal kenikmatan kehidupan di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat, hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah 9:38)
“Adapun orang-orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya. Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhan-nya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nazi’at 79:37-41)
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu, serta saling berbangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, lalu menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tiada lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid 57:20)
“Dijadikan indah dalam (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, sawah-ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. Katakanlah: Maukah kamu aku beri kabar tentang yang lebih baik dari yang demikian itu? Untuk orang-orang yang bertakwa pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Dan ada (pula) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat pada hamba-hamba-Nya.” (QS. Ali ‘Imran 3:15-16)
Tujuan dari ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh Islam dengan gaya bahasa yang demikian jelas dan menawan guna memperlihatkan pengaruh akhirat atas dunia. Siapapun yang beriman kepada al-Qur’an dan kerasulan Muhammad saw hendaknya melaksanakan segala perintah yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai sarana menuju kebahagiaan di akhirat, serta menjauhi segala perbuatan yang telah ditetapkan-Nya sebagai sebab-sebab yang mengantarkan pada penderitaan di akhirat.
1.e.ii. Hisab dan Balasan Amal
Bahwa amal apapun yang dilakukan manusia di dunia ini, sekalipun dengan maksud main-main, pasti dicatat dalam buku catatan yang – tanpa memperhatikan besar kecilnya – pasti akan diberi balasan, dan bahwasannya buku tersebut akan diberikan kepadanya di depan mahkamah Allah yang adil di hari kiamat kelak, di mana ia akan melihat setiap butir amal perbuatan yang telah ia kerjakan di dunia, dan bahkan lidah, mata, tangan, kaki dan seluruh anggota tubuhnya akan memberikan kesaksian secara langsung. Selanjutnya amal perbuatan itu akan ditempatkan dalam neraca yang amat betul-betul lurus: amal baik di satu sisi dan amal buruk di sisi yang lain. Kalau yang berat aadalah yang pertama, maka ia akan disambut oleh keberuntungan dan kebahagiaan abadai. Surgalah tempat tinggalnya. Akan tetapi bila yang berat adalah bagian yang lain, rugilah ia serugi-ruginya, dan tempat kembalinya adalah jahannam.
Al-Qur’an menjelaskan pula bahwa pada saat itu semua orang tidak didatangkan ke depan pengadilan Allah kecuali sendiri-sendiri, dan bahwasannya adalah tidak berguna sedikitpun sarana-sarana yang bisa dipergunakan di dunia dulu: tidak harta dan nasab, tidak perhiasan dan pertolongan (orang lain), tidak kekayaan dan anak-anak, dan tidak pula kekuasaan dan kedudukan.
II. Tingkatan Iman.
Iman itu lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi ialah syahadat “Laa Ilaaha Ilallaah”, sedang cabang yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan sifat malu adalah salah satu dari cabang Iman.
Rukun Iman ada enam, yaitu :
[1] Iman kepada Allah.
[2] Iman kepada para Malaikat-Nya.
[3] Iman kepada Kitab-kitab-Nya.
[4] Iman kepada para Rasul-Nya.
[5] Iman kepada hari Akhirat, dan
[6] Iman kepada Qadar, yang baik dan yang buruk. (Qadar : takdir, ketentuan Ilahi. Yaitu : Iman bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam semesta ini adalah diketahui, dikehendaki dan dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Dalil keenam rukun ini, firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Berbakti (dari Iman) itu bukanlah sekedar menghadapkan wajahmu (dalam shalat) ke arah Timur dan Barat, tetapi berbakti (dan Iman) yang sebenarnya ialah iman seseorang kepada Allah, hari Akhirat, para Malaikat, Kitab-kitab dan Nabi-nabi…” [Al-Baqarah : 177]
Dan firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya segala sesuatu telah Kami ciptakan sesuai dengan qadar”. [Al-Qomar : 49]
III. Tingkatan Ihsan.
Ihsan, rukunnya hanya satu, yaitu :
“Artinya : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. [Pengertian Ihsan tersebut adalah penggalan dari hadits Jibril, yang dituturkan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu 'Anhu, sebagaimana akan disebutkan]
Dalilnya, firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan“. [An-Nahl : 128]
Dan firman Allah Ta’ala. “Artinya : Dan bertakwallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihatmu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan (melihat) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesunnguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Asy-Syu'araa : 217-220]Serta firman-Nya.“Artinya : Dalam keadaan apapun kamu berada, dan (ayat) apapun dari Al-Qur’an yang kamu baca, serta pekerjaan apa saja yang kamu kerjakan, tidak lain kami adalah menjadi saksi atasmu diwaktu kamu melakukannya”. [Yunus : 61] Adapun dalilnya dari Sunnah, ialah hadits Jibril[1] yang masyhur, yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.“Artinya : Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul ke arah kami seorang laki-laki, sangat putih pakaiannya, hitam pekat rambutnya, tidak tampak pada tubuhnya tanda-tanda sehabis dari bepergian jauh dan tiada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menyandarkan kelututnya pada kedua lutut beliau serta meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha beliau, dan berkata : ‘Ya Muhammad, beritahulah aku tentang Islam’, maka beliau menjawab :’Yaitu : bersyahadat bahwa tiada sesembahan yang haq selain Allah serta Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melakukan shiyam pada bulan Ramadhan dan melaksanakan haji ke Baitullah jika kamu mampu untuk mengadakan perjalanan ke sana’. Lelaki itu pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kata Umar :’Kami merasa heran kepadanya, ia bertanya kepada beliau, tetapi juga membenarkan beliau. Lalu ia berkata : ‘Beritahulah aku tentang Iman’. Beliau menjawab :’Yaitu : Beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan hari Akhirat, serta beriman kepada Qadar yang baik dan yang buruk’. Ia pun berkata : ‘Benarlah engkau’. Kemudian ia berkata : ‘Beritahullah aku tentang Ihsan’. Beliau menjawab : Yaitu : Beribadah kepada Allah dalam keadaan seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu’. Ia berkata lagi. Beritahulah aku tentang hari Kiamat. Beliau menjawab : ‘Orang yang ditanya tentang hal tersebut tidak lebih tahu dari pada orang yang bertanya’. AKhirnya ia berkata :’Beritahulah aku sebagian dari tanda-tanda Kiamat itu’. Beliau menjawab : Yaitu : ‘Apabila ada hamba sahaya wanita melahirkan tuannya dan apabila kamu melihat orang-orang tak beralas kaki, tak berpakaian sempurna melarat lagi, pengembala domba saling membangga-banggakan diri dalam membangun bangunan yang tinggi’. Kata Umar : Lalu pergilah orang laki-laki itu, semantara kami berdiam diri saja dalam waktu yang lama, sehingga Nabi bertanya : Hai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ? Aku menjawab : Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau pun bersabda : ‘Dia adalah Jibril, telah datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian”. [2]
Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO
0 komentar:
Posting Komentar